Mata Air Jiwa [4]

Orang berwatak jahat itu mendingan bego daripada pinter. Sebab kalau orang jahat pinter dampaknya bisa sepuluh keturunan ga selesai-selesai. (Suara Hatiku)

*********************

Dua setengah jam kami menggoes sepeda mengikuti garis putih di tengah jalan aspal hingga jalan berkerikil dan hutan jati yang layu, karena ditebangi oleh orang-orang jahil. “Emang orang kalau ga bener mendingan bego, karena kerusakan yang ditimbulkan ga parah,” gumam aku dalam batin.

Oelistina terlihat lelah, topi biru berlogo tutwuri handayani ia buka dan digunakan untuk kipas di wajahnya. Sementara Ridwan meniup-niup dengan mulut mungilnya untuk meminamlisir panas siang itu. Aku dan Kuntoro merebahkan badan ke pohon asem yang sepertinya sudah lanjut usia. “Lis, pinjam topinya sebentar,” teriak Ari yang tak kuat menahan panas. Dari sekian orang Ari yang seharusnya tahan akan panas karena kulitnya mendukung.

Yah, kami beristirahat di antara hamparan hutan jati yang daunnya banyak berjatuhan akibat tidak tahan menahan sengatan matahari di musim kemarau tahun ini. Tak hanya daun jati yang rontok, batang jati pun terlihat letih menahan panas matahari. “Eh, Julekha sama Sugianto kemana? Perasaan dari tadi ga kelihatan,’ tanya Oelis kepada Ari yang sedang mengibar-ngibarkan rambutnya yang jarang. Yah, mirip iklan shampoo gitu deh. Bedanya kalau rambut Ari pas adegan iklan yang rambutnya rusak.

Selang beberapa saat, terlihat dua “artis” yang diisukan sedang memadu kasih itu tergopoh-gopoh menuntur sepeda. “Wah, kalian beneran kejam sama teman nih. Masa kita ditinggalin di belakang kalau ada yang menculik gimana?” protes Sugaianto kepada kami sambil mulutnya monyong.

Alah bukannya seneng ditinggal berdua, kalian cuma pura-pura marah. Setelah Sugianto memberikan klarifikasi kepada kami bahwa tertinggalnya mereka bukan karena sengaja, tapi pas melewati jembatan sepedanya terposot dan jatuh ke area persawahan. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan sesuai rencana semula yaitu ke goa kelelawar. “Ini lis topinya, terima kasih yah,” kata Ari sambil membalikan posisi sepedanya dengan gaya mirip pembalap internasional.

Memang Ari tergolong anak yang hiperaktif tapi juga aleman karena suka meminta sesuatu seperti anak kecil. Pernah suatu hari, gadis yang memiliki tinggi kurang lebih 150 centimeter ini nangis hanya gara-gara ditinggal sendirian di ruang kelas. Meski kenyataanya begitu tapi ia menolak jika disebut anak aleman bahkan dia marah kalau ada yang menyebutnya cengeng.

Lokasi tujuan kami tinggal satu jam lagi tapi kami tetap semangat karena ini petualangan yang menantang. Sebetulnya kami hanya ingin melakukan riset kecil-kecilan antara teori di buku pelajaran geografi tentang stalakmid dan stalakit di goa kelalawar. “Minta air dong, haus banget nih,” kata Ridwan yang sering merepotkan khusus urusan perbekalan. Maklum, dia anak pertama yang harus mengalah dengan adik-adiknya di rumah mengingat tempat penampungan air yang dimiliki Cuma satu.

Itulah kami, meskipun sering adu mulut dan sering diam-diaman tapi tidak meluluhkan arti persahabatan di antara kami. Latar belakang yang berbeda ternyata menjadi sebuah kebahagiaan dan perekat persahabatan. Memang selama bersama-sama kami tidak pernah menyatakan apalagi ikrar bahwa kami adalah sahabat. Lagian tak perlu lagi, memang kita pejabat yang naik jabatan dan dilantik oleh atasan dengan beribu janji tapi dilanggar. ******

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mata Air di Dalam Jiwa [2]


Daun kering pohon mahoni melayang-layang di udara saat dihempas angin, rumput ilalang di depan SD Negeri Jatirokeh juga turut bergoyang menjadi pelengkap kegembiraan kami bertujuh.


“Eh, buku Geografinya di bawa ga?”, nanti lupa lagi,” kata Sugianto kepada Ridwan yang terkenal pelupa itu. Maklum, Ridwan mengalami cobaan hidup yang cukup berat karena orang tuanya kurang harmonis. Bahkan, ia terpaksa harus hidup bersama ibu tiri yang tentunya tidak sehangat ibu kandung. Ibu kandungnya meninggal ketika dia masih kelas III sekolah dasar. Kondisi fisik Ridwan tidak jauh berbeda dengan aku, mungil dengan tinggi kurang lebih 135 centimeter lebih pendek dariku. Ini pula yang membuat teman di kelas banyak meledek Ridwan sebagai anak yang kurang pur yaitu jenis makanan untuk burung. Sebetulnya aku heran dengan fisik Ridwan yang mungil sebab dia adalah keturunan Arab, bangsa yang terkenal postur tubuhnya tinggi besar.


Setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan, itulah kenapa manusia saling membutuhkan. Contohnya dia, meski fisik anak berambut berintik ini mungil tapi menjadi rujukan kelas aku karena tulisannya rapi, bagus dan yang pasti enak dibaca, itulah kelebihan Ridwan diantara kami sehingga sering di dijadikan “korban” kalau ada tugas kelompok menulis. “Ngrang…, ngreng,” suara knalpot dari motor RX King tiba-tiba melintas dengan lantang seperti tidak suka melihat kami yang menggunakan sepeda. Memang, sejak bebek mesin itu masuk ke daerah kami suara bising yang bikin menganga telinga sering terdengar. Mereka lebih bangga dengan mesin yang menyebabkan polusi dari pada naik sepeda.


“Tuh orang dah ditawar malaikat,” gumamku saa melihat pengendara motor yang larinya kaya kesetan itu karena jengkel.Setelah mengkroscek beberapa keperluan di tas masing-masing, akhirnya kami bertujuh pun menggoes sepeda untuk melanjutkan perjalanan ke sebuah Goa. Hari itu aku tidak memakai sepeda mustang raksasa lagi karena telah aku tukar guling dengan BMX tetangga tanpa sepengetauan orangtua. Aku pun bisa menggoes sepeda lebih nyaman sehingga tidak tersiksa lagi. Ukurannya cocok dengan kondisi fisikku yang mungil.

Sementara itu, Kuntoro masih setia dengan sepeda ontel warna hitam yang dibelikan kakaknya. Sebetulnya sepeda ini lebih nyaman karena memiliki batang besi ditengah atau orang sering menyebut “gelogor”.


Ridwan, Sugianto dan Raharjo tampak lebih menikmati sepeda merk federal mereka. Sepeda merk ini sedang ngetren masa itu, tak heran banyak anak-anak di kampungku yang “mengancam” orangtua mereka hanya gara-gara ingin dibelikan sepeda federal. Sementara itu, dua srikandi yaitu Ari Kurniati, dan Siti Zulekha menggunakan sepeda mini buatan China yang pada bagian belakang jok terdapat tempat boncengan serta dilengkapi ranjang pada bagian depan. Ari adalah anak dari pegawai Bank swasta di Kota Brebes. Anaknya hitam manis dan terlihat jutek karena bentuk mukanya yang keturunan Batak. Namun sebetulnya dia anak gaul dan rapi. Zulekha sendiri anak seorang wiraswasta sukses yang memiliki usaha material dan toko furniture di empat kecamatan. Tak heran, penampilannya klimis dan pakainnya selalu rapi an licin. Bahkan saking licinnya bekas setrikaanya masih berbekas membentuk garis.


Oelistina sendiri, anak yang tergolong jenius dan serius ini memakai sepeda mustang hijau muda. Penampilan anak pegawai Pabrik Gula ini elegan, tidak nora dan sederhana sehingga tidak mengundang perhatian mata para pemburu wanita. Kami menikmati perjalanan karena dalam bayangan Goa Songgom merupakan tempat yang sejuk karena masih alami. Jalan Jatirokeh menuju ke Songgom diapit oleh pohon balsia, tapi sayang ranting pohon besar ini mengering seperti tengkorak hidup karena yang tersisa hanya tulang ranting bergelantungan.


Musim kemarau tahun ini cukup lama sehingga cukup menyiksa. Alasan ini pula aku membawa air cadangan di botol air mineral ukuran 600 mililiter. Sepanjang perjalanan kami berjejer dua-dua, aku dengan Kuntoro, Untung dengan Ridwan, Zulakehah dengan Sugianto dan Oelis dengan Ari. Dari pasangan yang ada, hanya pasangan Sugianto-Zulaekhah yang berbeda karena lawan jenis. Di sekolah sendiri dua anak ini sering digosipkan memiliki hubungan khusus meski pada kenyataanya aku tidak pernah melihat mereka berjalan berdua. Sedang menggoes asik menikmati pemandangan persawahan dan pepohonan di pinggir jalan tiba-tiba terdengar bunyi yang mengaggetkan. “Geprak….,” tiba-tiba sepedaku terhenti, rupanya rantenya putus.


“Waduh rantai sepedaku putus nih, bagimana?” kata aku pada teman-teman. Aku dan keenam temanku pun langsung tengok kanan dan kiri, depan dan belakang. Sial, tidak ada bengkel sepeda yang terlihat sama sekali. Ada gubuk ternyata orang jualan es putar dan gorengan. “Ayolah saya tuntun saja sambil cari bengkel sepeda, siapa tahu di depan ada bengkel,” kata aku yang tak ingin merusak rencana tour goes sepeda.100 meter menuntun sepeda keringatku langsung bercucuran mulai di kening, tangan, kaki hingga badan. Kaos merk adidas biru tua pun seperti habis direndam air hendak dicuci. Aku tidak bisa membayangkan andaikan yang dituntun adalah sepeda mustang raksakaku. Namun di balik rasa syukur itu, aku juga teringat proses tukar guling sepeda yang dilakukan tanpa izin dari orang tua. “Ini kayanya hukum karma, makanya pulang dari acara minta maaf sama orangtua,” sindir Raharjo yang tahu proses tukar guling sepedaku.


Setelah menuntun 200 meter baru kami menemukan bengkel sepeda yang tukang bengkelnya seorang kakek. Kami pun berhenti di bengkel yang dindingnya terbuat dari geribik atau anyaman bambu. “Kenapa dek…mau tambah angin?” tanya si Kakek kepada aku yang langsung dijawab mau betulin rantai yang putus.“Tunggu empat sepeda lagi dek yah, kasihan mereka juga sudah antre,” kata si Kakek. Mendengar jawaban si Kakek kami bertujuh saling berpandangan terkejut dan ragu bisa melanjutkan perjalanan. “Haa, empat sepeda lagi. Begini aja Kek, sepeda aku tinggal saja di sini nanti sore baru kita ambil,” kataku langsung memberikan keputusan cepat.


Aku pun langsung melirik sepeda Kuntoro yang boncengannya masih nganggur. “Ayu, Kun aku bonceng kamu nanti goesnya gentian,” kataku kepada Kuntoro untuk meyakinkan. Tanpa pikir panjang lagi kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang kurang lebih masih membutuhkan waktu 30 menit lagi dengan kecepatan satu menit per sekali goes. [bersambung….pada cerita selanjutnya]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mata Air di Dalam Jiwa [1]


Siang itu, usai bel pulang berbunyi sekira pukul 14.00 WIB, aku bersama teman sekelas di I.E menggerombol di salah satu sudut kelas. Masing-masing membawa kertas dan bolpoin untuk mencatat tugas masing-masing untuk kegiatan Minggu besok.


Oleh Abu Ayu Fadia


Hari itu termasuk hari super sibuk dalam menghadapi ujian akhir yang tinggal enam bulan lagi. Yah, hampir mirip sih dengan suasana kesibukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat memanggil calon Menteri ke Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. “Besok kita kumpul di perempatan dekat Kios 7 saja, karena lokasinya strategis berada di tengah-tengah,” kata Raharjo, salah satu temanku menyebutkan tempat pertemuan yang dinilai adil.


Belum saja usul itu disetujui, muncul lagi gagasan baru dari Kuntoro, temenku sekelas yang juga satu kampung. Anak berkulit hitam bertubuh tinggi yang otaknya encer ini mengusulkan, bagi yang rumahnya dekat lokasi tujuan bisa langsung menunggu di pertigaan arah ke Goa. “Jadi saya tidak perlu ke perempatan lagi karena akan membuang-buang waktu,” kata Kuntoro dengan mimik serius seperti sedang memikirkan penghematan anggaran negara.


Setelah berunding sekira 30 menit akhirnya disepakati usul Kuntoro. Entahlah, kenapa teman-teman menyetujui usul Kuntoro, apakah karena yang usul orang pintar sehingga dianggap benar atau kebetulan usulannya dianggap adil oleh teman-temanku. Proses musyawarah merancang masa depan pun usai dan masing-masing bergegas meninggalkan ruang kelas menuju tempat parkir sepeda di belakang kelas III.


Suasana siang itu sudah lengang karena siswa sudah pada pulang, ratusan sepeda yang semula terlihat di ruang parkir lenyap dibawa oleh pemiliknya. Terlihat Ibu Kantin sibuk membersihkan plastik dan daun bekas makanan yang dibuang sembarangan oleh sebagian siswa. “Kok baru pada pulang nih, habis pada ngapain?” tanya Ibu Kantin kepada kami saat hendak mengambil sepeda.


Ternyata melakukan hal kecil seperti membuang sampah di tempatnya pun sulit dilakukan jika tidak terbiasa. Padahal, Pak Tasnja, Kepala Sekolah selalu memberikan arahan setiap upacara setiap Senin pagi agar selalu menjaga kebersihan. Selain perintah Pak Tasnja, ini juga perintah agama. “Maafin kami Bu Kantin yang kurang ajar,” gumam saya dalam batin mewakili teman-temanku ketika melihat keikhlasan Bu Kantin yang membersihkan sampah setiap hari.


Jarum jam yang menggantung di kantin menunjuk angka 14.45 WIB. Panas siang itu sangat menyengat karena sedang musim kemarau, angin beberapa kali menyapu debu di halaman sekolah. Kondisi ini pula yang membuat sebagian besar warga di desa aku termasuk orang tuaku resah karena air sumur mulai mengering. “Apakah karena airnya mrembes, sesuai nama daerah ini yaitu Brebes,” bisik saya dalam batin.


Hari itu kebetulan saya membawa sepeda sendiri, biasanya sih numpang bonceng ke Kuntoro karena satu desa jadi lebih enak. Jarak dari rumah ke sekolah sekira tujuh kilometer, tapi karena semangat ingin belajar perjalanan yang melelahkan itu dilakukan setiap hari dengan menggunakan sepeda. Meski sepeda ontelnya sudah lanjut usia dan sering bernyanyi ketika digoes, tapi bagi aku itu sepeda perjuangan. Maklum beberapa onderdilnya seperti rantai, pelek dan rem depan, sudah rusak karena jarang diperbaiki.


Sebetulnya aku sendiri memiliki sepeda merk Mustang, tapi karena ukuran sepeda terlalu besar tidak sebanding dengan fisikku yang mungil maka sepeda tersebut jarang aku pakai ke sekolah. “Beli es dulu yuk, haus nih,” ajak Kuntoro kepada aku karena tidak kuat menahan panas siang itu.


Kami berdua pun berhenti di salah satu gerobak mungil milik Mang Darus, penjual es kelapa muda langganan kami, termasuk langganan utang. “Baru pulang, sore amat,” tanya Mang Darus kepada kami berdua yang langsung kami jawab bahwa ada keperluan sekolah. Pria tua berkulit sawo matang ini tergolong terkenal di kalangan siswa, terutama siswa yang pulangnya melewati gerobak kusam miliknya itu. Alasannya sederhananya sih karena boleh ngutan es di Mang Darus.


Pangkalannya berada di dekat Gereja Bethel, bercampur dengan area parkir angkutan desa (Angdes) jurusan Jatibarang-Sitanggal. Persisnya di depan deretan ruko-ruko miliki keturunan China. Ada beberapa alasan kenapa aku langganan di Mang Darus, selain rasanya terasa beda yang lebih berharga adalah bisa ngutang. Mang Darus sendiri percaya kepada kami karena kebetulan rumah pria beranak dua ini berdekatan dengan Halimi, teman sekelasku jadi kalau nagih enak karena bisa dititipkan.


Harga es kelapa muda di Mang Darus Rp 500 perak untuk satu gelas. Rasanya manis karena menggunakan gula merah buatan Parbik Gula Jatibarang, yang lokasinya sekira 500 meter dari sekolah aku. “Ini mang uangnya, kali ini tidak ngutang,” kata aku yang kali ini mentraktir Kuntoro karena dibolehkan numpang.


-------Ke esokan harinya…

Minggu sekira pukul 05.00 WIB, suara krang kring sepeda saling bersahutan di jalan raya. Memang untuk urusan mencari nafkah warga di desaku tidak perlu diragukan semangatnya. Mereka rela melakukan perjalanan hingga puluhan kilometer hanya untuk mencari tempat panen padi. Bi Kirah misalnya, wanita yang memiliki tujuh anak ini setiap harinya bangun pagi dan baru pulang usai Maghrib.


Biasanya Bi Kirah pergi bersama suaminya dengan sepeda kumbang merk Batavus. Anak-anaknya yang masih kecil dibiarkan terlelap tidur dan baru tahu kalau kedua orang tuanya pergi setelah bangun. Yah, mirip dengan wanita karir di zaman modern seperti sekarang ini. Selain ramai dengan ratusan sepeda ontel, jalanan juga diramaikan penjual serabi yang umumnya para penjualnya para nenek-nenek. Mereka berjejer di beberapa titik pinggir jalan yang dianggap strategis mengundang konsumen mampir.


Usai shalat subuh, sarapan dan memasukan perlengkapan ke dalam tas ranges warna hitam, aku pun pamitan kepada ibuku untuk pergi ke suatu tempat bersama teman-teman sekelas sesuai perjanjian hari kemarin. “Pulangnya jamnya berapa?” tanya ibuku sambil memasukan uang saku ke dalam kantong celana. Meski ibuku tidak bisa membaca karena tidak dibolehkan sekolah ketika ia masih muda, tapi kepedulian ibuku terhadap pendidikan cukup menjadi panutan.Andaikan ibuku akrab dengan Ibu Kartini mungkin ia akan berontak minta diizinkan untuk sekolah.


Matahari mulai menampakan diri setelah istirahat dari peraduannya semalam suntuk. Hilir mudik warga yang hendak ke pasar dan sawah menjadi warna kehidupan di desa terasa begitu indah dan alami. Kicaun burung kutilang yang hinggap di bambu dan pohon asem seolah memberi semangat kepada aku dan warga di desaku supaya melakukan aktivitas sejak pagi hari.


Selama melewati warga yang aku kenal, mereka selalu menanyakan kenapa hari Minggu kok berangkat ke sekolah. “Sebetulnya sih libur, kebetulan hari ini ada kegiatan,” itulah jawabanku setiap ada orang yang bertanya. “Lelu gopak minger,” teriak Pak Saya sambil memecut dua ekor kerbau di salah satu petakan sawah. Teriakan Pak Saya menambah keramaian suasana desa pagi itu. Pak Saya adalah satu-satunya tetanggaku yang menyewakan jasa penggemburan tanah sawah dengan dua ekor kerbaunya dalam istilah di kampungku namanya meluku.


Anak kedua Pak Saya yang bernama Sahari adalah teman sepermainanku di kampung, terutama saat dua ekor kerbau miliknya itu hendak dimandikann di kali pemali. Bisa menaiki kerbau hingga berjam-jam merupakan kebanggan sendiri bagi anak-anak “sekolahan” karena tidak mudah, apalagi kalau kerbaunya sedang marah karena dijahili tangan-tangan nakal yang suka memancing kemarahan kerbau.


Hari itu aku terpaksa menggunakan sepeda sendiri meski tersiksa akibat ukuran sepeda terlalu besar buat badanku. Satu gowes, dua gowes tidak terasa tapi kalau sudah ratusan goes rasanya punggung retak-retak. Bahkan pantat pun sering lecet karena panjang kaki dengan posisi goesan sepeda terlalu jauh, sehingga saya harus kerja keras untuk menggoesnya.


Meski tersiksa selama diperjalanan akhirnya dengan kerja keras yang mengeluarkan keringat, aku sampai pada titik pertigaan dimana menjadi pusat pertemuan kami. Aku pun langsung melirik angka di jam yang ada di pergelangan tangan kanan. “Wah sudah pukul 06.15 WIB, kok ga ada orang jangan-jangan sudah pada berangkat, tapi kan janjianya jam 06.00 masa telat 15 menit saja ditinggal,” keluh saya dalam hati.


Andaikan sudah ada handpone, tentu masalah sepele seperti ini tidak menjadi kesulitan. Cukup SMS atau telepon sudah ada kepastian dimana posisi temen-temenku itu. Aku berhenti sejenak dan menyandar di pohon beringin tua yang rindang sambil menenggak air minum dari tempat minum, yang bentuknya mirip Robot Cop, sebuah film robot yang digandrungi anak masa itu.


“Kring…kring..kring, hai yang lain pada kemana?” sapa Kuntoro yang baru tiba dengan sepeda ontelnya. Sepertinya teman-teman yang janjian di perempatan Jatibarang masih dalam perjalanan. Sambil menunggu, kami berdua duduk santai sambil berbincang-bincang termasuk tentang perlengkapan yang dibawa.


Di tengah perbincangan, tak henti-hentinya melintas angkutan umum kuda yang disesaki penumpang dan barang belanjaan. Di daerah kami angkutan jenis ini warga sering menyebutnya Pir atau orang Jogja bilang delman. Angkutan jenis ini merupakan favorit di kalangan ibu yang menjadi pedagang karena ongkosnya murah. Jumlah angkutan desa masih terbatas sehingga harus berebut.


Matahari terus bergerak perlahan tapi pasti, beberapa daun berterbangan, butir-butir debu terhempas saat angin bertiup menyapu semua yang ada. Topi sekolah biru tuaku juga menjadi korban saat terhempas oleh angin dan hampir tenggelam di air sungai. Sekira pukul 06.30 WIB, dari kejauahan terlihat rombongan orang bersepeda dengan jenis dan merk yang beragam. Dalam batinku, itu pasti Untung, Sugiarto, Oelis, Julekhah, Ari, Ridwan. Yah, teman-teman sekelasku yang telah bersepakat untuk belajar kelompok di Goa Songgom.


Dari jarak 100 meter dari lokasi kami berdua berdiri, kami melihat ada sesuatu yang berbeda tentang sepeda mereka karena warna terlihat asing. “Eh, sepedanya Lekhah kan warna biru. Terus Sugi warna hitam, tapi ini kok beda semua. Jangan-jangan bukan mereka,” tanya aku kepada Kuntoro yang ternyata juga kurang yakin kalau rombongan sepeda itu adalah teman-teman..


Ternyata benar saja, mereka adalah rombongan siswa SMPN 2 Jatibarang yang sedang jalan-jalan. Memang, SMPN 1 dimana aku sekolah memiliki persaingan prestasi dengan sekolah negeri yang menjadi tetangga itu. Yah, meski aku sendiri tidak pernah menorehkan prestasi akademik yang mengharumkan sekolah, tapi aku merasa bangga karena ada teman yang berhasil mengalahkan sekolah itu.


Tak lama kemudian, datanglah rombongan teman-teman sekelas yang sejak tadi aku tunggu. “Kok telat banget sih, janji jam 06.00 datang jam 07.00,” tanya saya dengan penuh penasaran. Meski aku sendiri telat 15 menit tapi karena datang lebih awal jadi tidak ada yang tahu. Rupanya salah satu sepeda mereka ada yang gembos jadi harus menunggu ditambal. (bersambung…ke cerita perjalanan menuju ke Goa).***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mekkah Jadi Rujukan Waktu Dunia

Umat Islam di seluruh dunia bisa menyetel jam tangan mereka saat berada di Makkah. Sebab, lonceng terbesar di dunia yang berada di dekat Masjidilharam mulai berfungsi dan beroperasi. Pemerintah Arab Saudi mulai mengujicobakan lonceng tersebut bersamaan dengan bulan puasa atau awal Ramadan kemarin (11/8).Selama bulan suci Ramadan, lonceng tersebut akan diuji coba secara penuh,” kata seorang pejabat Arab Saudi seperti dikutip kantor berita Saudi Press Agency (SPA) Selasa lalu (10/8). Bahkan, uji coba direncanakan berlangsung tiga bulan.

Pemerintah Saudi berharap lonceng baru empat sisi tersebut menahbiskan Makkah sebagai salah satu alternatif patokan waktu di luar garis bujur Greenwich. Menara lonceng itu bakal berada di puncak gedung pencakar langit setinggi 1.983 kaki (601 meter) dalam kompleks tujuh tower Abraj Al Bait.

Ketika pembangunannya tuntas, menara tersebut akan menjadi gedung tertinggi kedua di dunia atau hanya kalah oleh menara Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), yang setinggi 2.717 kaki (828 meter). Tetapi, bangunan itu nanti mengungguli menara Taipei 101 di Taiwan yang setinggi 1.670 kaki (509 meter). Sedangkan lonceng di menara tersebut mengungguli Big Ben di London, Inggris, sebagai lonceng terbesar di dunia.

‘’Pembangunan dan pemasangan lonceng itu merupakan pekerjaan besar,” kata Mohammed Al Arkubi, manajer Royal Mecca Clock Tower Hotel, gedung di bawah lonceng.

Kehadiran lonceng tersebut merefleksikan keinginan umat Islam untuk mewujudkan waktu Makkah (Mecca Mean Time). Itu bisa menjadi alternatif atau menggantikan standar waktu universal, Greenwich Mean Time (GMT), yang digunakan selama 126 tahun terakhir.

Dalam konferensi di Doha, Qatar, pada 2008, para ulama dan cendekiawan muslim mempresentasikan argumentasi ilmiah bahwa waktu Makkah merupakan garis bujur global yang sebenarnya. Mereka beralasan Makkah merupakan pusat dunia. Sedangkan patokan waktu GMT diterapkan oleh negara-negara Barat pada 1884.

Setiap orang tertarik dan sangat penasaran untuk melihatnya. Tetapi, kami sulit mendapatkan informasi tentang lonceng tersebut,” kata Hani Al Wajeeh, penduduk Makkah. ”Kami berharap lonceng tersebut menunjukkan Makkah sebagai zona waktu utama di dunia,” lanjutnya.

Sejauh ini, Bin Ladin Company, perusahaan Arab Saudi yang menjadi pengembangnya, merahasiakan detail lonceng raksasa tersebut. Tetapi, lonceng itu berdiri dan terlihat indah dengan dihiasi dua pedang dalam posisi menyilang dan pohon kurma sebagai simbol kenegaraan Arab Saudi.

Di bagian atas empat sisi lonceng terdapat huruf Arab besar yang berbunyi Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Ribuan lampu berwarna melengkapi. Alhasil, lonceng tersebut bisa dilihat hingga jarak 16 mil atau 25 kilometer. Bagian puncak lonceng berbentuk bulan sabit berukuran raksasa dengan diameter 23 meter.

Rencananya, sebuah dek atau tempat observasi dibangun di bagian bawah lonceng. Tinggi total lonceng tersebut hingga bagian berbentuk bulan sabit 251 meter. Para insinyur dari Jerman dan Swiss sengaja mendesainnya atas permintaan Kementerian Agama Arab Saudi. Proyek itu menelan dana USD 800 juta. (AFP/AP/c11)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nora, Gadis Kecil di Tengah Tumpukan Sampah


Tumpukan sampah yang menggunung menjadi sahabat paling setia Nora, gadis yang sudah empat tahun menjadi pemulung. Yah, hanya tumpukan sampah itulah yang mau menolong dia untuk biaya sekolah.



KARNOTO-KOTA SERANG

Usai sekolah , gadis yang memiliki nama lengkap Nora Nurhidayati ini harus bergulat dengan tumpukan sampah yang didatangkan dari pasar dan perumahan di sekitar Kota Serang, Provinsi Banten. Bau busuk yang menyengat hidung seperti angin berlalu. Setiap hari selama kurang lebih lima jam, Nora harus bergumal dengan sampah.

Tak jarang ia sering terkena penyakit.Namun, Nora tetap menjalani aktivitas itu karena tidak memiliki pilihan lain. Orang tuanya hanya seorang buruh tani yang penghasilannya hanya Rp 10.000/hari. Sementara pemerintah yang semestinya bertanggung jawab terhadap nasib Nora, sepertinya menutup mata. Bahkan melirik pun sepertinya malu dan jiji karena badannya dipenuhi oleh kotoran sampah.

Padahal, makanan, kendaraan, pakaian, dan sejumlah perhiasan yang menempel ditubuh para pejabat adalah keringat dan kesabaran Nora yang tidak pernah mendoakan pemimpinya untuk diadzab. Meskipun ia bingung, kepada siapa ia mengadu. Nora hanyalah bagian kecil anak negeri ini yang tertindas dan terdzalimi oleh para pemimpin yang tidak pernah meringankan beban kaum dhuafa. Para pejabat tidak malu ketika melintas di depan rumahnya yang reot dan masih terbuat dari bilik. Padahal, dari balik kaca mobil yang sebetulnya aromanya lebih busuk daripada sampah-sampah yang melekat di ditubuh Nora. Sesungguhnya mereka mendengar jeritan dan rintihan dan derain air mata Nora dan sejumlah rekannya di desa tersebut.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Benarkah Bangsa Indonesia itu Malas?

Benarkah bangsa Indonesia itu malas? Apa benar bangsa Indonesia itu tidak kreatif? Dua pertanyaan itu sering kali terlontar jika kita ngobrol dengan teman atau kolega terutama dari manca negara. Dua pertanyaan itu memang layak terlontar apalagi mengingat kondisi negeri kita yang hingga saat ini belum bangkit dari krisis dan makin carut marut.

Ternyata di tengah situasi dan kondisi seperti itu, sejumlah pemuda Indonesia bertarung dan mengadu kreatifitas dalam ajang Black Innovation Awards 2009 yang digelar perusahaan rokok Djarum. Dan, kali ini Kick Andy akan mengenal lebih dekat para pemenang lomba kreatifitas itu.

Salah satu pemenang lomba BIA 2009 adalah Muhamad Rois Abidin. Pemuda kelahiran kota Blitar, Jawa Timur 23 tahun lalu itu tidak tanggung-tanggung. Dua karyanya yang dikirim sekaligus yaitu Cangkingz dan Bagcamp berhasil menang. Menurut Rois ide membuat cangkingz atau tempat membawa duren itu berdasarkan pengamatan sehari-hari di dekat rumahnya. Ia sering melihat betapa susahnya orang yang membeli duren itu ketika membawa pulang karena takut terluka karena durinya yang tajam. Dengan Cangkingz, buah duren bisa dimasukan dan ditutup kembali. Dengan demikian kita bisa membawa duren dengan nyaman. Sedangkan penemuan keduanya adalah Bagcamp. “Bagcamp adalah sebuah tas yang ketika dibuka bisa diubah menjadi sebuah tenda,” ujarnya menerangkan. Jadi tas ini menurut rois, kalau mau camping tidak perlu repot membawa tenda.

Inovasi lainnya yang berhasil menang adalah “blind gaple”. Menurut penciptanya yaitu Arif Kurnianto, ia ingin agar saudara kita yang tunanetra bisa bermain gaple atau domino dengan orang normal. Kartu gaple nya dibuat khusus yaitu dengan lobang-lobang sesuai dengan jumlah lambang domino. “Penderita tunanetra memainkannya dengan meraba kartu itu,” kata pemuda berusia 33 tahun itu.

Sementara penemuan yang terlihat simpel namun menarik perhatian dewan juri adalah “templast”, yaitu tempat sampah plastik. Menurut penemunya, Bharoto Yekti, tempat sampah ini di dalamnya terdapat beberapa lingkaran berbagai ukuran. Masing-masing lingkaran itu diberi kantong plastik atau tas “kresek” untuk menampung sampah. “Melalui alat ini kita bisa dengan mudah memilah-milah sampah sesuai ukuran dan jenisnya. Sangat sederhana bukan?,” kata Bharoto meyakinkan. Memang menurut pengamatan dewan juri, Yoris Sebastian, “templast” memang sangat simpel dan sederhana. Walau kelihatan sederhana, manfaatnya ternyata sangat besar sekali. Karena sangat simpel dan sangat bermanfaat itulah yang membawa Bharoto Yekti, pria 28 tahun lulusan ITB itu mendapat tiket berangkat ke Australia untuk menjadi pengamat dalam lomba kreatifitas tingkat internasional.

Ide dan kreatifitas para pemuda Indonesia dalam ajang Black Innovation Awards itu memang patut dihargai. Dengan ajang semacam ini akan selalu muncul ide dan kreatifitas yang sangat aplikatif sehingga bisa bermanfaat buat masyarakat. Hanya saja peran serta pemerintah dan dunia usaha sangat diperlukan disini. Para innovator itu ternyata masih kesulitan mempatenkan dan memasarkan hasil karyanya. ( sumber: www.kickandy.com]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ciputra: 95 Persen Makanan Saya Sayuran

Ciputra, tokoh properti di Indonesia, tampak masih bersemangat ikut Kongres FIABCI. Meskipun usianya sudah 78 tahun, Pak Ci, panggilannya, masih kuat berjalan kaki. Namun, tak jarang Pak Ci harus naik kursi roda. Wajar memang jika Pak Ci sangat peduli pada Kongres FIABCI. Pak Ci adalah orang Indonesia dan Asia pertama yang menjadi Presiden FIABCI Dunia pada tahun 1987. Pak Ci juga orang yang memelopori Indonesia menjadi tuan rumah Kongres FIABCI lagi setelah batal menggelar kongres ini tahun 1998 akibat kerusuhan Mei.

Memang demikianlah, Pak Ci adalah sosok tokoh properti Indonesia yang sangat dihormati dunia internasional. Chairman Bukit Kiara Malaysia dan mantan Presiden FIABCI Dunia Datok Alan Tong, misalnya, menyatakan Pak Ci adalah tokoh panutannya. "Saya banyak belajar dari Pak Ciputra," kata Alan Tong, orang yang mendukung Bali jadi tuan rumah Kongres FIABCI.

Apa rahasia hidup sehat Pak Ci? "Saya setiap hari makan sayur. Dan 95 persen makanan saya sayuran," kata Pak Ci dalam percakapan dengan Kompas.com di sela-sela Kongres FIABCI di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua. Pak Ci juga masih suka membaca buku. "Saya suka buku-buku nonfiksi tentang entrepreneurship, kewirausahaan," kata pemilik Grup Ciputra itu.Pak Ci memang pengusaha sukses. Pengalamannya sebagai Presiden FIABCI Dunia 1987 membuat Ciputra berhasil memperluas jaringannya. Grup Ciputra membangun kota baru di Vietnam dan Kamboja.

Semangat hidup Pak Ci memang patut dicontoh. Ketika banyak pengusaha properti sudah kembali ke Jakarta, Pak Ci tetap hadir dalam farewell party FIABCI di Garuda Wisnu Kencana, Jumat (28/5/2010) malam. Itulah Pak Ci. Meskipun sudah berada di puncak, Pak Ci tetap rendah hati. Banyak yang meminta foto bersama dia dan Pak Ci selalu melayaninya dengan senyum.[www.kompas.com]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS