Kondisi yang tak sempurna tidak membuat putus asa apalagi harus meminta-minta kepada orang lain. Sikap inilah yang ditunjukan oleh Jamudi, seorang perajin tuna rungu di Kampung Kosambi, Desa Bumijaya, Kecamatan Ciruas.
KARNOTO-SERANG-PROVINSI BANTEN
Pelan tapi pasti kedua telapak tangan Jamudi dieluskan kepada gumpalan tanah liat yang berada di depannya. Dengan penuh perasaan, Jamudi mengusap-ngusap tana liat lambat laun mulai berbentuk. Kegiatan seperti ini merupakan salahsatu proses pembuatan gerabah.
Aktivitas keseharian ini dilakukan oleh duda berusia 38 tahun ini sejak usianya masih kecil. Di tangan lelaki yang memiliki keterbatasan ini, tanah liat mampu diubah menjadi sebuah barang yang bernilai ekonomis.
“Jamudi enggan meminta-minta kepada orang lain, meski kondisinya tak sempurna,” kata Jaenul, salah seorang tetangganya yang menanyakan alasan menjadi perajin kepada Jamudi dengan bahasa isyarat.
Ketika Radar Banten, mendatangi Jamudi pada Minggu (19/10). Lelaki berkulit sawo matang ini terlihat asyik sendirian di dalam salahsatu ruangan depan rumahnya yang sederhana. “Setiap hari saya mampu membuat 8 gerabah yang masih mentah dengan ukuran sedang,” kata Jamudi dengan bahasa isyaratnya kepada tetangganya.
Selain tak bisa mendengar, Jamudi juga tidak bisa bicara. Untuk mengerti apa yang ia katakan harus membawa tetangganya yang mengerti bahasa isyarat. “Biasanya, Jamudi mulai membuat gerabah pukul 08.00 hinga 16.00 WIB,” kata Jaenul saat turut mendampingi Jamudi.
Meski kondisinya tak sempurna, kata Jaenul, Jamudi pernah membuat gerabah di Bali selama lima tahun sebelum akhirnya kembali ke kampung kelahirannya di Desa Bumijaya. Kini, lelaki berperawakan tinggi ini menetap bersama orangtuanya.
Dari keterampilannya membuat gerabah, Jamudi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus meminta-minta kepada orang lain. Biasanya, hasil kerajinanya di jual ke Jakarta setiap seminggu sekali. “Di Jakarta sudah ada penampungnya,” ujar Jaenul. ****