Mata Air di Dalam Jiwa [1]


Siang itu, usai bel pulang berbunyi sekira pukul 14.00 WIB, aku bersama teman sekelas di I.E menggerombol di salah satu sudut kelas. Masing-masing membawa kertas dan bolpoin untuk mencatat tugas masing-masing untuk kegiatan Minggu besok.


Oleh Abu Ayu Fadia


Hari itu termasuk hari super sibuk dalam menghadapi ujian akhir yang tinggal enam bulan lagi. Yah, hampir mirip sih dengan suasana kesibukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat memanggil calon Menteri ke Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. “Besok kita kumpul di perempatan dekat Kios 7 saja, karena lokasinya strategis berada di tengah-tengah,” kata Raharjo, salah satu temanku menyebutkan tempat pertemuan yang dinilai adil.


Belum saja usul itu disetujui, muncul lagi gagasan baru dari Kuntoro, temenku sekelas yang juga satu kampung. Anak berkulit hitam bertubuh tinggi yang otaknya encer ini mengusulkan, bagi yang rumahnya dekat lokasi tujuan bisa langsung menunggu di pertigaan arah ke Goa. “Jadi saya tidak perlu ke perempatan lagi karena akan membuang-buang waktu,” kata Kuntoro dengan mimik serius seperti sedang memikirkan penghematan anggaran negara.


Setelah berunding sekira 30 menit akhirnya disepakati usul Kuntoro. Entahlah, kenapa teman-teman menyetujui usul Kuntoro, apakah karena yang usul orang pintar sehingga dianggap benar atau kebetulan usulannya dianggap adil oleh teman-temanku. Proses musyawarah merancang masa depan pun usai dan masing-masing bergegas meninggalkan ruang kelas menuju tempat parkir sepeda di belakang kelas III.


Suasana siang itu sudah lengang karena siswa sudah pada pulang, ratusan sepeda yang semula terlihat di ruang parkir lenyap dibawa oleh pemiliknya. Terlihat Ibu Kantin sibuk membersihkan plastik dan daun bekas makanan yang dibuang sembarangan oleh sebagian siswa. “Kok baru pada pulang nih, habis pada ngapain?” tanya Ibu Kantin kepada kami saat hendak mengambil sepeda.


Ternyata melakukan hal kecil seperti membuang sampah di tempatnya pun sulit dilakukan jika tidak terbiasa. Padahal, Pak Tasnja, Kepala Sekolah selalu memberikan arahan setiap upacara setiap Senin pagi agar selalu menjaga kebersihan. Selain perintah Pak Tasnja, ini juga perintah agama. “Maafin kami Bu Kantin yang kurang ajar,” gumam saya dalam batin mewakili teman-temanku ketika melihat keikhlasan Bu Kantin yang membersihkan sampah setiap hari.


Jarum jam yang menggantung di kantin menunjuk angka 14.45 WIB. Panas siang itu sangat menyengat karena sedang musim kemarau, angin beberapa kali menyapu debu di halaman sekolah. Kondisi ini pula yang membuat sebagian besar warga di desa aku termasuk orang tuaku resah karena air sumur mulai mengering. “Apakah karena airnya mrembes, sesuai nama daerah ini yaitu Brebes,” bisik saya dalam batin.


Hari itu kebetulan saya membawa sepeda sendiri, biasanya sih numpang bonceng ke Kuntoro karena satu desa jadi lebih enak. Jarak dari rumah ke sekolah sekira tujuh kilometer, tapi karena semangat ingin belajar perjalanan yang melelahkan itu dilakukan setiap hari dengan menggunakan sepeda. Meski sepeda ontelnya sudah lanjut usia dan sering bernyanyi ketika digoes, tapi bagi aku itu sepeda perjuangan. Maklum beberapa onderdilnya seperti rantai, pelek dan rem depan, sudah rusak karena jarang diperbaiki.


Sebetulnya aku sendiri memiliki sepeda merk Mustang, tapi karena ukuran sepeda terlalu besar tidak sebanding dengan fisikku yang mungil maka sepeda tersebut jarang aku pakai ke sekolah. “Beli es dulu yuk, haus nih,” ajak Kuntoro kepada aku karena tidak kuat menahan panas siang itu.


Kami berdua pun berhenti di salah satu gerobak mungil milik Mang Darus, penjual es kelapa muda langganan kami, termasuk langganan utang. “Baru pulang, sore amat,” tanya Mang Darus kepada kami berdua yang langsung kami jawab bahwa ada keperluan sekolah. Pria tua berkulit sawo matang ini tergolong terkenal di kalangan siswa, terutama siswa yang pulangnya melewati gerobak kusam miliknya itu. Alasannya sederhananya sih karena boleh ngutan es di Mang Darus.


Pangkalannya berada di dekat Gereja Bethel, bercampur dengan area parkir angkutan desa (Angdes) jurusan Jatibarang-Sitanggal. Persisnya di depan deretan ruko-ruko miliki keturunan China. Ada beberapa alasan kenapa aku langganan di Mang Darus, selain rasanya terasa beda yang lebih berharga adalah bisa ngutang. Mang Darus sendiri percaya kepada kami karena kebetulan rumah pria beranak dua ini berdekatan dengan Halimi, teman sekelasku jadi kalau nagih enak karena bisa dititipkan.


Harga es kelapa muda di Mang Darus Rp 500 perak untuk satu gelas. Rasanya manis karena menggunakan gula merah buatan Parbik Gula Jatibarang, yang lokasinya sekira 500 meter dari sekolah aku. “Ini mang uangnya, kali ini tidak ngutang,” kata aku yang kali ini mentraktir Kuntoro karena dibolehkan numpang.


-------Ke esokan harinya…

Minggu sekira pukul 05.00 WIB, suara krang kring sepeda saling bersahutan di jalan raya. Memang untuk urusan mencari nafkah warga di desaku tidak perlu diragukan semangatnya. Mereka rela melakukan perjalanan hingga puluhan kilometer hanya untuk mencari tempat panen padi. Bi Kirah misalnya, wanita yang memiliki tujuh anak ini setiap harinya bangun pagi dan baru pulang usai Maghrib.


Biasanya Bi Kirah pergi bersama suaminya dengan sepeda kumbang merk Batavus. Anak-anaknya yang masih kecil dibiarkan terlelap tidur dan baru tahu kalau kedua orang tuanya pergi setelah bangun. Yah, mirip dengan wanita karir di zaman modern seperti sekarang ini. Selain ramai dengan ratusan sepeda ontel, jalanan juga diramaikan penjual serabi yang umumnya para penjualnya para nenek-nenek. Mereka berjejer di beberapa titik pinggir jalan yang dianggap strategis mengundang konsumen mampir.


Usai shalat subuh, sarapan dan memasukan perlengkapan ke dalam tas ranges warna hitam, aku pun pamitan kepada ibuku untuk pergi ke suatu tempat bersama teman-teman sekelas sesuai perjanjian hari kemarin. “Pulangnya jamnya berapa?” tanya ibuku sambil memasukan uang saku ke dalam kantong celana. Meski ibuku tidak bisa membaca karena tidak dibolehkan sekolah ketika ia masih muda, tapi kepedulian ibuku terhadap pendidikan cukup menjadi panutan.Andaikan ibuku akrab dengan Ibu Kartini mungkin ia akan berontak minta diizinkan untuk sekolah.


Matahari mulai menampakan diri setelah istirahat dari peraduannya semalam suntuk. Hilir mudik warga yang hendak ke pasar dan sawah menjadi warna kehidupan di desa terasa begitu indah dan alami. Kicaun burung kutilang yang hinggap di bambu dan pohon asem seolah memberi semangat kepada aku dan warga di desaku supaya melakukan aktivitas sejak pagi hari.


Selama melewati warga yang aku kenal, mereka selalu menanyakan kenapa hari Minggu kok berangkat ke sekolah. “Sebetulnya sih libur, kebetulan hari ini ada kegiatan,” itulah jawabanku setiap ada orang yang bertanya. “Lelu gopak minger,” teriak Pak Saya sambil memecut dua ekor kerbau di salah satu petakan sawah. Teriakan Pak Saya menambah keramaian suasana desa pagi itu. Pak Saya adalah satu-satunya tetanggaku yang menyewakan jasa penggemburan tanah sawah dengan dua ekor kerbaunya dalam istilah di kampungku namanya meluku.


Anak kedua Pak Saya yang bernama Sahari adalah teman sepermainanku di kampung, terutama saat dua ekor kerbau miliknya itu hendak dimandikann di kali pemali. Bisa menaiki kerbau hingga berjam-jam merupakan kebanggan sendiri bagi anak-anak “sekolahan” karena tidak mudah, apalagi kalau kerbaunya sedang marah karena dijahili tangan-tangan nakal yang suka memancing kemarahan kerbau.


Hari itu aku terpaksa menggunakan sepeda sendiri meski tersiksa akibat ukuran sepeda terlalu besar buat badanku. Satu gowes, dua gowes tidak terasa tapi kalau sudah ratusan goes rasanya punggung retak-retak. Bahkan pantat pun sering lecet karena panjang kaki dengan posisi goesan sepeda terlalu jauh, sehingga saya harus kerja keras untuk menggoesnya.


Meski tersiksa selama diperjalanan akhirnya dengan kerja keras yang mengeluarkan keringat, aku sampai pada titik pertigaan dimana menjadi pusat pertemuan kami. Aku pun langsung melirik angka di jam yang ada di pergelangan tangan kanan. “Wah sudah pukul 06.15 WIB, kok ga ada orang jangan-jangan sudah pada berangkat, tapi kan janjianya jam 06.00 masa telat 15 menit saja ditinggal,” keluh saya dalam hati.


Andaikan sudah ada handpone, tentu masalah sepele seperti ini tidak menjadi kesulitan. Cukup SMS atau telepon sudah ada kepastian dimana posisi temen-temenku itu. Aku berhenti sejenak dan menyandar di pohon beringin tua yang rindang sambil menenggak air minum dari tempat minum, yang bentuknya mirip Robot Cop, sebuah film robot yang digandrungi anak masa itu.


“Kring…kring..kring, hai yang lain pada kemana?” sapa Kuntoro yang baru tiba dengan sepeda ontelnya. Sepertinya teman-teman yang janjian di perempatan Jatibarang masih dalam perjalanan. Sambil menunggu, kami berdua duduk santai sambil berbincang-bincang termasuk tentang perlengkapan yang dibawa.


Di tengah perbincangan, tak henti-hentinya melintas angkutan umum kuda yang disesaki penumpang dan barang belanjaan. Di daerah kami angkutan jenis ini warga sering menyebutnya Pir atau orang Jogja bilang delman. Angkutan jenis ini merupakan favorit di kalangan ibu yang menjadi pedagang karena ongkosnya murah. Jumlah angkutan desa masih terbatas sehingga harus berebut.


Matahari terus bergerak perlahan tapi pasti, beberapa daun berterbangan, butir-butir debu terhempas saat angin bertiup menyapu semua yang ada. Topi sekolah biru tuaku juga menjadi korban saat terhempas oleh angin dan hampir tenggelam di air sungai. Sekira pukul 06.30 WIB, dari kejauahan terlihat rombongan orang bersepeda dengan jenis dan merk yang beragam. Dalam batinku, itu pasti Untung, Sugiarto, Oelis, Julekhah, Ari, Ridwan. Yah, teman-teman sekelasku yang telah bersepakat untuk belajar kelompok di Goa Songgom.


Dari jarak 100 meter dari lokasi kami berdua berdiri, kami melihat ada sesuatu yang berbeda tentang sepeda mereka karena warna terlihat asing. “Eh, sepedanya Lekhah kan warna biru. Terus Sugi warna hitam, tapi ini kok beda semua. Jangan-jangan bukan mereka,” tanya aku kepada Kuntoro yang ternyata juga kurang yakin kalau rombongan sepeda itu adalah teman-teman..


Ternyata benar saja, mereka adalah rombongan siswa SMPN 2 Jatibarang yang sedang jalan-jalan. Memang, SMPN 1 dimana aku sekolah memiliki persaingan prestasi dengan sekolah negeri yang menjadi tetangga itu. Yah, meski aku sendiri tidak pernah menorehkan prestasi akademik yang mengharumkan sekolah, tapi aku merasa bangga karena ada teman yang berhasil mengalahkan sekolah itu.


Tak lama kemudian, datanglah rombongan teman-teman sekelas yang sejak tadi aku tunggu. “Kok telat banget sih, janji jam 06.00 datang jam 07.00,” tanya saya dengan penuh penasaran. Meski aku sendiri telat 15 menit tapi karena datang lebih awal jadi tidak ada yang tahu. Rupanya salah satu sepeda mereka ada yang gembos jadi harus menunggu ditambal. (bersambung…ke cerita perjalanan menuju ke Goa).***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mekkah Jadi Rujukan Waktu Dunia

Umat Islam di seluruh dunia bisa menyetel jam tangan mereka saat berada di Makkah. Sebab, lonceng terbesar di dunia yang berada di dekat Masjidilharam mulai berfungsi dan beroperasi. Pemerintah Arab Saudi mulai mengujicobakan lonceng tersebut bersamaan dengan bulan puasa atau awal Ramadan kemarin (11/8).Selama bulan suci Ramadan, lonceng tersebut akan diuji coba secara penuh,” kata seorang pejabat Arab Saudi seperti dikutip kantor berita Saudi Press Agency (SPA) Selasa lalu (10/8). Bahkan, uji coba direncanakan berlangsung tiga bulan.

Pemerintah Saudi berharap lonceng baru empat sisi tersebut menahbiskan Makkah sebagai salah satu alternatif patokan waktu di luar garis bujur Greenwich. Menara lonceng itu bakal berada di puncak gedung pencakar langit setinggi 1.983 kaki (601 meter) dalam kompleks tujuh tower Abraj Al Bait.

Ketika pembangunannya tuntas, menara tersebut akan menjadi gedung tertinggi kedua di dunia atau hanya kalah oleh menara Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), yang setinggi 2.717 kaki (828 meter). Tetapi, bangunan itu nanti mengungguli menara Taipei 101 di Taiwan yang setinggi 1.670 kaki (509 meter). Sedangkan lonceng di menara tersebut mengungguli Big Ben di London, Inggris, sebagai lonceng terbesar di dunia.

‘’Pembangunan dan pemasangan lonceng itu merupakan pekerjaan besar,” kata Mohammed Al Arkubi, manajer Royal Mecca Clock Tower Hotel, gedung di bawah lonceng.

Kehadiran lonceng tersebut merefleksikan keinginan umat Islam untuk mewujudkan waktu Makkah (Mecca Mean Time). Itu bisa menjadi alternatif atau menggantikan standar waktu universal, Greenwich Mean Time (GMT), yang digunakan selama 126 tahun terakhir.

Dalam konferensi di Doha, Qatar, pada 2008, para ulama dan cendekiawan muslim mempresentasikan argumentasi ilmiah bahwa waktu Makkah merupakan garis bujur global yang sebenarnya. Mereka beralasan Makkah merupakan pusat dunia. Sedangkan patokan waktu GMT diterapkan oleh negara-negara Barat pada 1884.

Setiap orang tertarik dan sangat penasaran untuk melihatnya. Tetapi, kami sulit mendapatkan informasi tentang lonceng tersebut,” kata Hani Al Wajeeh, penduduk Makkah. ”Kami berharap lonceng tersebut menunjukkan Makkah sebagai zona waktu utama di dunia,” lanjutnya.

Sejauh ini, Bin Ladin Company, perusahaan Arab Saudi yang menjadi pengembangnya, merahasiakan detail lonceng raksasa tersebut. Tetapi, lonceng itu berdiri dan terlihat indah dengan dihiasi dua pedang dalam posisi menyilang dan pohon kurma sebagai simbol kenegaraan Arab Saudi.

Di bagian atas empat sisi lonceng terdapat huruf Arab besar yang berbunyi Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Ribuan lampu berwarna melengkapi. Alhasil, lonceng tersebut bisa dilihat hingga jarak 16 mil atau 25 kilometer. Bagian puncak lonceng berbentuk bulan sabit berukuran raksasa dengan diameter 23 meter.

Rencananya, sebuah dek atau tempat observasi dibangun di bagian bawah lonceng. Tinggi total lonceng tersebut hingga bagian berbentuk bulan sabit 251 meter. Para insinyur dari Jerman dan Swiss sengaja mendesainnya atas permintaan Kementerian Agama Arab Saudi. Proyek itu menelan dana USD 800 juta. (AFP/AP/c11)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS