Mata Air Jiwa [4]

Orang berwatak jahat itu mendingan bego daripada pinter. Sebab kalau orang jahat pinter dampaknya bisa sepuluh keturunan ga selesai-selesai. (Suara Hatiku)

*********************

Dua setengah jam kami menggoes sepeda mengikuti garis putih di tengah jalan aspal hingga jalan berkerikil dan hutan jati yang layu, karena ditebangi oleh orang-orang jahil. “Emang orang kalau ga bener mendingan bego, karena kerusakan yang ditimbulkan ga parah,” gumam aku dalam batin.

Oelistina terlihat lelah, topi biru berlogo tutwuri handayani ia buka dan digunakan untuk kipas di wajahnya. Sementara Ridwan meniup-niup dengan mulut mungilnya untuk meminamlisir panas siang itu. Aku dan Kuntoro merebahkan badan ke pohon asem yang sepertinya sudah lanjut usia. “Lis, pinjam topinya sebentar,” teriak Ari yang tak kuat menahan panas. Dari sekian orang Ari yang seharusnya tahan akan panas karena kulitnya mendukung.

Yah, kami beristirahat di antara hamparan hutan jati yang daunnya banyak berjatuhan akibat tidak tahan menahan sengatan matahari di musim kemarau tahun ini. Tak hanya daun jati yang rontok, batang jati pun terlihat letih menahan panas matahari. “Eh, Julekha sama Sugianto kemana? Perasaan dari tadi ga kelihatan,’ tanya Oelis kepada Ari yang sedang mengibar-ngibarkan rambutnya yang jarang. Yah, mirip iklan shampoo gitu deh. Bedanya kalau rambut Ari pas adegan iklan yang rambutnya rusak.

Selang beberapa saat, terlihat dua “artis” yang diisukan sedang memadu kasih itu tergopoh-gopoh menuntur sepeda. “Wah, kalian beneran kejam sama teman nih. Masa kita ditinggalin di belakang kalau ada yang menculik gimana?” protes Sugaianto kepada kami sambil mulutnya monyong.

Alah bukannya seneng ditinggal berdua, kalian cuma pura-pura marah. Setelah Sugianto memberikan klarifikasi kepada kami bahwa tertinggalnya mereka bukan karena sengaja, tapi pas melewati jembatan sepedanya terposot dan jatuh ke area persawahan. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan sesuai rencana semula yaitu ke goa kelelawar. “Ini lis topinya, terima kasih yah,” kata Ari sambil membalikan posisi sepedanya dengan gaya mirip pembalap internasional.

Memang Ari tergolong anak yang hiperaktif tapi juga aleman karena suka meminta sesuatu seperti anak kecil. Pernah suatu hari, gadis yang memiliki tinggi kurang lebih 150 centimeter ini nangis hanya gara-gara ditinggal sendirian di ruang kelas. Meski kenyataanya begitu tapi ia menolak jika disebut anak aleman bahkan dia marah kalau ada yang menyebutnya cengeng.

Lokasi tujuan kami tinggal satu jam lagi tapi kami tetap semangat karena ini petualangan yang menantang. Sebetulnya kami hanya ingin melakukan riset kecil-kecilan antara teori di buku pelajaran geografi tentang stalakmid dan stalakit di goa kelalawar. “Minta air dong, haus banget nih,” kata Ridwan yang sering merepotkan khusus urusan perbekalan. Maklum, dia anak pertama yang harus mengalah dengan adik-adiknya di rumah mengingat tempat penampungan air yang dimiliki Cuma satu.

Itulah kami, meskipun sering adu mulut dan sering diam-diaman tapi tidak meluluhkan arti persahabatan di antara kami. Latar belakang yang berbeda ternyata menjadi sebuah kebahagiaan dan perekat persahabatan. Memang selama bersama-sama kami tidak pernah menyatakan apalagi ikrar bahwa kami adalah sahabat. Lagian tak perlu lagi, memang kita pejabat yang naik jabatan dan dilantik oleh atasan dengan beribu janji tapi dilanggar. ******

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS