Kemiskinan Jangan Dirasa


“Meskipun saya tergolong keluarga miskin tapi tidak mau merasakan kemiskinan. Hidup harus berubah menjadi lebih baik dan sejahtera dari apa yang ada saat in”. Itulah kalimat yang diungkapkan oleh Sobri, mahasiswa ISIP Jakarta kepada saya.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Mendengar kalimat di atas saya tertegun dan kagum karena kalimat di atas keluar dari mulut seorang anak, yang kebetulan secara ekonomi kurang beruntung. Sobri (20) adalah alumni SMA Al-Irsyad, Desa Sukadalam, Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Kini, di tahun 2009 Sobri sudah sudah bisa menikmati perkuliahan di Institut Sosial Ilmu Politik (ISIP), Jakarta dan mengambil jurusan Administrasi Niaga. Apa yang diutarakan Sobri selayaknya menjadi pemicu bagi generasi muda untuk senantiasa optimis dalam meniti kehidupan. Dunia bergerak dan berputar sambil membawa orang-orang yang mau diajak bergerak. Tentunya, bergerak ke arah yang lebih baik.

Optimisme memang bisa mengalahkan semua krikil-krikil yang mengganggu potensi positif diri. Optimisme juga mampu melahirkan karya-karya luar biasa dan mengaggumkan. Sayangnya, stimulus jiwa ini sering luput dari penjagaan sehingga pesimisme mendominasi hati dan jiwa. Keberhasilan seseorang diawali dengan optimisme, karena dari sinilah otak dan pikiran kita akan digerakan menjadi kreatif dalam memecahkan persoalan-persoalan rumit.

Tak heran harian Kompas di ulang tahunnya ke-44 di tahun 2009 pun mengangkat tema besarnya dengan judul membangun optimisme, seperti yang ditulis pada edisi Selasa (22/6) pada halaman pertama. Tulisan yang digoreskan oleh Ninok Leksono tersebut mengangkat tema besar membangun optimisme dengan tema ekonomi inovasi.

Dalam tulisan tersebut, Ninok mengutip pemikiran dari James Canton yang mengatakan bahwa ekonomi inovasi merupakan perjumpaan antara ekonomi, demokrasi, perdagangan dan teknologi. Yang menguasai seni dan sinergi bidang-bidang tersebut dakan menguasai kepemimpinan dunia, produktivitas bisnis, dan kesejahteraan individu.

Begitu dahsyatnya dampak optimisme terhadap kemajuan dan perubahan seseorang maka sudah selayaknya menjadi perisai. Apa yang diutarakan oleh Sobri menjadi inspirasi bagi anak-anak yang senasib. ***



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Fir'aun di Laptop


Banyak cerita di dunia ini, semenjak zaman dahulu kala Bagi manusia yang banyak dosa di azab Allah Lihatlah Fir’aun, manusia yang sombong di tenggelamkan di lautan dalam Kaum Nabi Luth dan Kota Pompaii Telah hancur lebur tinggal jejaknya.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia


Kalimat di atas adalah penggalan lirik lagu anak-anak yang menceritakan tentang Fir’aun dan kaum Nabi Luth. Dalam kepingan CD tersebut, digambarkan secara umum bukti-bukti kekuasaan Allah SWT yang menenggelamkan Fir’aun di laut dan hancurnya Kota Pompaii serta musibah yang menimpa kaum Nabi Luth.

Fir’aun adalah gelar raja Mesir ketika dulu. Nah, dalam kisahnya, Ramses II atau Fir’aun yang sombong hingga pada klimaksnya, Fir’aun mengaku sebagai Tuhan bagi masyarakat saat itu. Nabi Musa yang hidup di zamannya pun diperintahkan untuk mengingatkan Fir’aun, tapi Ramses II ini justru memusuhi Musa dan ummatnya. Bahkan, Fir’aun mengejar Musa dan pengikutnya ketika mereka hendak pergi dari negeri tersebut. Singkat cerita, pada saat menemui jalan buntu para pengikut Musa bingung bahkan ada sebagian dari mereka terkesan menyesal, mengikuti ajaran Musa.

Di luar dugaan, munculah mukjizat dari Allah SWT berupa kekuatan tongkat Musa yang mampu membelah laut hingga akhirnya Musa dan pengikutnya bisa melewati jalan buntu tersebut. Fir’aun dan pengikutnya pun hendak mengejar tapi ketika berada di tengah belahan laut, Allah SWT kembali menyatukan belahan laut sehingga Fir’aun dan pengikutnya tenggelam. Aneh, jasad Fir’aun diselamatkan oleh Allah dan terdampak di pinggir laut hingga akhirnya dibuat mumi.

Pada kisah selanjutnya, Kota Pompaii ditimpahkan musibah berupa hujan api dan gempat bumi hingga kota tersbut hanya menyisakan bangunan-bangunan, yang sudah hancur lebur. Manusia penghuni kota tersebut pun menjadi batu dan hancur akibat dahsyatnya musibah tersebut. Kota Pompaii di zamannya terkenal makmur dan keindahan kotanya. Tapi sayangnya penduduk Pompaii memiliki kebiasaan buruk yang dibenci Allah SWT, penduduk di kota ini gemar mengadu manusia secara sadis hingga lawannya tewas. Lawan yang tewas kemudian diberikan kepada srigala-srigala.

Kisah penuh hikmah yang terdapat di CD tersebut selalu menjadi menu keseharian Fadia, yang saat itu baru berumur 1 tahun 3 bulan. Biasanya, Fadia menonton kisah yang diperankan oleh Tupi dan Pingi-ping ini di laptop mungilnya. Yah, saya dan istri bangga melihat Fadia sudah mengenal laptop di usianya yang baru satu tahun tiga bulan. Meski belum lincah memahami fungsi keseluruhan dari laptop warna hitam tersebut, tapi kami merasa bangga karena Fadia sudah bisa memangku dan memencet beberapa tools di laptop, meski ia sendiri belum mengetahui fungsinya.

Setiap pagi, usai shalat subuh sekitar pukul 05.00 WIB, Fadia biasanya bangun dan langsung meminta diambilkan laptop. Sore harinya, usai shalat ashar pun Fadia meminta diambilkan laptop dan langsung minta diputarkan film kisah-kisah insipiratif. Betul-betul perkembangan Fadia cukup membanggakan, ini pula yang kemudian menancapkan cita-cita besar saya akan sosok Fadia dewasa nanti, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya. Muslimah yang memiliki akidah kuat, wawasan luas, sejuk dan menenangkan serta muslimah yang mampu menyampaikan agama sesuai dengan bahasa kaummnya. Selamat meraih cita-cita nak, semoga Allah selalu memberikan bimbingan dan kekuatan kepada kita sekeluarga, amin. *****

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

90% Kesuksesan Bukan dari IQ


Kamu itu anak goblok, jendel dan tolol, lihat anak lain pintar semua, kenapa kamu tidak bisa. Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Kalimat di atas sering saya dari orangtua ketika mendapatkan nilai akademik anaknya tidak memuaskan. Sepintas ini hal yang biasa dan dianggap lumrah tapi ternyata sangat mengganggu mental si anak. Selain itu, cara tersebut jelas tidak dibenarkan baik ditinjau dari aspek ilmiah maupun agama.

Fakta di lapangan, masih banyak orangtua yang memberikan stigma buruk kepada anak-anaknya ketika nilai akademiknya jelek. Padahal menurut Daniel Goleman, penulis buku kecerdasan emosi yang juga ahli psikologi, bahwa IQ hanya menyumbangkan 5-10% kesuksesan seseorang, sedangkan sisanya yang 90 persen ada di kecerdasan emosional dan spiritual. Sebuah fakta yang mengaggetkan saya atau mungkin anda sendiri. Maklum, selama ini kita hanya ditekan untuk menjadi orang cerdas akademik. Padahal, ada potensi kecerdasan emosional dan spiritual yang kita miliki tapi tidak pernah dikenalkan kepada kita.

Saya masih ingat saat masih SMP sekitar tahun 1993 lalu, guru matematika dan fisika saya selalu memberikan hukuman fisik kepada siswa yang nilai lima. Kedua guru ini hanya memuji siswa yang pandai matematika dan mereka selalu mendapat perhatian penuh. Jika mengingat semua itu, sakit hati ini, karena ternyata guru yang mestinya menjadi fasilitator justru menghancurkannya mental siswa sendiri.

Kisah yang mirip juga terjadi di daerah lain, diantaranya kisah yang ditulis oleh Taufik Pasiak, penulis buku revolusi IQ/EQ/SQ dari Manado. Dokter lulusan Universitas Sam Ratulangi Manado, ini menceritakan kekecewaan seorang siswa di salah satu sekolah di Manado ketika menanyakan kepada salah seorang gurunya soal kecerdasan. Dalam buku tersebut, siswa itu bertanya kepada sang guru, siapakah yang lebih pintar, Albert Einstein atau Mike Tyson?, Rudi Hartono atau BJ.Habibi.

Mendengar pertanyaan siswa tersebut, sang guru tidak memberikan jawaban yang tidak memuaskan, karena hanya dijawab mana mungkin orang tersebut disamakan. Sang siswa sendiri adalah pemain basket terkenal yang mengharumkan nama sekolahnya. Sang siswa merasa tidak dianggap cerdas dan pantas oleh guru sehingga jawabannya terkesan menyepelekan.

Pemahaman sang guru yang menganggap siswa pemain basket sepertinya perlu diluruskan supaya tidak ada korban selanjutnya. Menurut Paul Stoltz dalam bukunya yang berjudul Adversity Question, kunci kesuksesan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya kinerja, bakat, kemauan, karakter, kesehatan dan keyakinan.

Nah, mulai sekarang hilangkan dan lenyapkan dari pikiran kita untuk memberikan stigma buruk kepada anak-anak kita, karena kecerdasan akademik hanya 5-10% menentukan kesuksesan. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS