Dari Guru Ngaji Sampai Tukang Cuci Pernah Dilakoni

Kekesalan dan kekecewaan adalah cambuk dan pemicu bagi sebagian orang untuk berbuat sesuatu yang bernilai positif. Contohnya yang seperti yang dilakukan Bukhari Arsyad, pendiri Yayasan Yatim Piatu Al-Irsyad, Desa Sukadalem, Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, saat merasa kesal karena mendapat ejekan dari tetangganya. Seperti apa ceritanya, berikut penuturannya kepada Radar Banten, Rabu (25/2).

KARNOTO-SERANG

Murah senyum, hangat dan penuh optimisme merupakan pribadi yang dimiliki oleh pria kelahiran Serang, 4 Juli 1970. Nuansa inilah yang selalu saya dapatkan setiap kali bertemu dengan Bukhari. Tak heran, pria alumni Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (ISIP) Jakarta.

“Perjalanan saya mendirikan yayasan yatim piatu sampai memiliki gedung sekolah sendiri, cukuplah panjang,” kata Bukhari seraya bola matanya diarahkan ke langit-langit karena teringat masa lalu.

Hanya demi impiannya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, Bukhari rela bekerja serabutan di Kota Metropolitan Jakarta sekitar 1990-an. Selama kurang lebih 13 tahun lamanya, Bukhari melanglang buana di Jakarta, mulai dari tukang cuci mobil, buruh pabrik, petugas kebersihan di kampus sampai menjadi guru ngaji pernah dilakoninya.

“Sebetulnya, kepergian saya ke Jakarta karena kesal dan kecewa dengan mitos, yang diyakini sebagian masyarakat bahwa orang Banten tidak akan bisa jadi apa-apa meskipun sekolah tinggi,” ujarnya.

Kesal dengan mitos itu, Bukhari pun pergi meninggalkan kampung halamanya ke Jakarta. Bebekal ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG), suami Sana’ah ini pun merantau ke Jakarta. Di Kota inilah, Bukhari, kenal dengan istilah kuliah. Perkuliahannya diawali ketika memberikan privat ngaji kepada cucu rektor ISIP, Jakarta. “Dari sinilah saya ditawari oleh rector ISIP untuk kuliah tanpa biaya,” tuturnya dengan senyumnya yang lepas.

Kesempatan ini tak dibiarkan berlalu oleh Bukhari, sambil bekerja sebagai petuga kebersihan hingga staf rektor dijalani oleh anak ke-4 dari pasangan Khusni dengan Hoadijah. “Saat perkuliahan sudah berjalan kira-kira 3 tahun, pikiran saya terusik oleh nasib anak-anak yatim di kampung halaman,” ujar Bukhari.

Pada tahun 1995, Bukhari pun mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang kemudian diberi nama Yayasan Al-Isryad dengan jumlah anak yatim dirawat sekitar 20 anak. “Waktu itu saya belum lulus dan masih menjadi staf rektor. Saya baru pulang pada tahun 1998 saat reformasi bergulir,” ujarnya.

Tahun reformasi inilah, Bukhari mulai total mengurus yayasannya hingga saat ini. Kini, di atas lahan kurang lebih 2 hektar, bendera Al-Irsyad berkibar dan memberikan cahaya kepada masyarakat Banten. Di lahan inilah. Bukhari membangun gedung SMP dan SMA.

Di gedung ini pula, 126 anak yatim piatu yang selama ini dirawat diberikan pendidikan sebagaimana pada umumnya. “Mulai dari buku, pakaian seragam makan dan tempat tinggal, anak asuh kami gratiskan,” tuturnya.

Di sekolah ini juga, 500 anak dari warga sekitar menikmati pendidikan yang beberapa tahun lalu sulit didapatkan.

Lalu darimana biayanya padahal ongkos perbulannya untuk operasinal mencapai Rp 60 juta. Bukhari tampak tersenyum dengan penuh optimis seraya mengatakan, upaya yang dilakukan yaitu membuat lahan usaha, diantaranya lembaga kursus computer, peternakan dan penyewaan jasa pesta pernikahan.

“Semua jenis usaha ini masih berjalan hingga kini,” katanya. Selain membuka usaha mandiri, bantuan dari para donator juga pernah diterima. Di penghujung pertemuan, Bukhari masih menyiratkan mimpi besarnya yaitu memiliki perguruan tinggi yang bisa diakses oleh anak dari kalangan tidak mampu.

“Itulah mimpi saya yang sampai kapanpun akan tetap ada,” ujarnya. Cahaya yang Bukhari tebarkan di Provinsi Banten, semestinya menjadi perhatian serius dari Pemprov untuk terus mendorong kemajuan mimpi besarnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS