Mata Air di Dalam Jiwa [2]


Daun kering pohon mahoni melayang-layang di udara saat dihempas angin, rumput ilalang di depan SD Negeri Jatirokeh juga turut bergoyang menjadi pelengkap kegembiraan kami bertujuh.


“Eh, buku Geografinya di bawa ga?”, nanti lupa lagi,” kata Sugianto kepada Ridwan yang terkenal pelupa itu. Maklum, Ridwan mengalami cobaan hidup yang cukup berat karena orang tuanya kurang harmonis. Bahkan, ia terpaksa harus hidup bersama ibu tiri yang tentunya tidak sehangat ibu kandung. Ibu kandungnya meninggal ketika dia masih kelas III sekolah dasar. Kondisi fisik Ridwan tidak jauh berbeda dengan aku, mungil dengan tinggi kurang lebih 135 centimeter lebih pendek dariku. Ini pula yang membuat teman di kelas banyak meledek Ridwan sebagai anak yang kurang pur yaitu jenis makanan untuk burung. Sebetulnya aku heran dengan fisik Ridwan yang mungil sebab dia adalah keturunan Arab, bangsa yang terkenal postur tubuhnya tinggi besar.


Setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan, itulah kenapa manusia saling membutuhkan. Contohnya dia, meski fisik anak berambut berintik ini mungil tapi menjadi rujukan kelas aku karena tulisannya rapi, bagus dan yang pasti enak dibaca, itulah kelebihan Ridwan diantara kami sehingga sering di dijadikan “korban” kalau ada tugas kelompok menulis. “Ngrang…, ngreng,” suara knalpot dari motor RX King tiba-tiba melintas dengan lantang seperti tidak suka melihat kami yang menggunakan sepeda. Memang, sejak bebek mesin itu masuk ke daerah kami suara bising yang bikin menganga telinga sering terdengar. Mereka lebih bangga dengan mesin yang menyebabkan polusi dari pada naik sepeda.


“Tuh orang dah ditawar malaikat,” gumamku saa melihat pengendara motor yang larinya kaya kesetan itu karena jengkel.Setelah mengkroscek beberapa keperluan di tas masing-masing, akhirnya kami bertujuh pun menggoes sepeda untuk melanjutkan perjalanan ke sebuah Goa. Hari itu aku tidak memakai sepeda mustang raksasa lagi karena telah aku tukar guling dengan BMX tetangga tanpa sepengetauan orangtua. Aku pun bisa menggoes sepeda lebih nyaman sehingga tidak tersiksa lagi. Ukurannya cocok dengan kondisi fisikku yang mungil.

Sementara itu, Kuntoro masih setia dengan sepeda ontel warna hitam yang dibelikan kakaknya. Sebetulnya sepeda ini lebih nyaman karena memiliki batang besi ditengah atau orang sering menyebut “gelogor”.


Ridwan, Sugianto dan Raharjo tampak lebih menikmati sepeda merk federal mereka. Sepeda merk ini sedang ngetren masa itu, tak heran banyak anak-anak di kampungku yang “mengancam” orangtua mereka hanya gara-gara ingin dibelikan sepeda federal. Sementara itu, dua srikandi yaitu Ari Kurniati, dan Siti Zulekha menggunakan sepeda mini buatan China yang pada bagian belakang jok terdapat tempat boncengan serta dilengkapi ranjang pada bagian depan. Ari adalah anak dari pegawai Bank swasta di Kota Brebes. Anaknya hitam manis dan terlihat jutek karena bentuk mukanya yang keturunan Batak. Namun sebetulnya dia anak gaul dan rapi. Zulekha sendiri anak seorang wiraswasta sukses yang memiliki usaha material dan toko furniture di empat kecamatan. Tak heran, penampilannya klimis dan pakainnya selalu rapi an licin. Bahkan saking licinnya bekas setrikaanya masih berbekas membentuk garis.


Oelistina sendiri, anak yang tergolong jenius dan serius ini memakai sepeda mustang hijau muda. Penampilan anak pegawai Pabrik Gula ini elegan, tidak nora dan sederhana sehingga tidak mengundang perhatian mata para pemburu wanita. Kami menikmati perjalanan karena dalam bayangan Goa Songgom merupakan tempat yang sejuk karena masih alami. Jalan Jatirokeh menuju ke Songgom diapit oleh pohon balsia, tapi sayang ranting pohon besar ini mengering seperti tengkorak hidup karena yang tersisa hanya tulang ranting bergelantungan.


Musim kemarau tahun ini cukup lama sehingga cukup menyiksa. Alasan ini pula aku membawa air cadangan di botol air mineral ukuran 600 mililiter. Sepanjang perjalanan kami berjejer dua-dua, aku dengan Kuntoro, Untung dengan Ridwan, Zulakehah dengan Sugianto dan Oelis dengan Ari. Dari pasangan yang ada, hanya pasangan Sugianto-Zulaekhah yang berbeda karena lawan jenis. Di sekolah sendiri dua anak ini sering digosipkan memiliki hubungan khusus meski pada kenyataanya aku tidak pernah melihat mereka berjalan berdua. Sedang menggoes asik menikmati pemandangan persawahan dan pepohonan di pinggir jalan tiba-tiba terdengar bunyi yang mengaggetkan. “Geprak….,” tiba-tiba sepedaku terhenti, rupanya rantenya putus.


“Waduh rantai sepedaku putus nih, bagimana?” kata aku pada teman-teman. Aku dan keenam temanku pun langsung tengok kanan dan kiri, depan dan belakang. Sial, tidak ada bengkel sepeda yang terlihat sama sekali. Ada gubuk ternyata orang jualan es putar dan gorengan. “Ayolah saya tuntun saja sambil cari bengkel sepeda, siapa tahu di depan ada bengkel,” kata aku yang tak ingin merusak rencana tour goes sepeda.100 meter menuntun sepeda keringatku langsung bercucuran mulai di kening, tangan, kaki hingga badan. Kaos merk adidas biru tua pun seperti habis direndam air hendak dicuci. Aku tidak bisa membayangkan andaikan yang dituntun adalah sepeda mustang raksakaku. Namun di balik rasa syukur itu, aku juga teringat proses tukar guling sepeda yang dilakukan tanpa izin dari orang tua. “Ini kayanya hukum karma, makanya pulang dari acara minta maaf sama orangtua,” sindir Raharjo yang tahu proses tukar guling sepedaku.


Setelah menuntun 200 meter baru kami menemukan bengkel sepeda yang tukang bengkelnya seorang kakek. Kami pun berhenti di bengkel yang dindingnya terbuat dari geribik atau anyaman bambu. “Kenapa dek…mau tambah angin?” tanya si Kakek kepada aku yang langsung dijawab mau betulin rantai yang putus.“Tunggu empat sepeda lagi dek yah, kasihan mereka juga sudah antre,” kata si Kakek. Mendengar jawaban si Kakek kami bertujuh saling berpandangan terkejut dan ragu bisa melanjutkan perjalanan. “Haa, empat sepeda lagi. Begini aja Kek, sepeda aku tinggal saja di sini nanti sore baru kita ambil,” kataku langsung memberikan keputusan cepat.


Aku pun langsung melirik sepeda Kuntoro yang boncengannya masih nganggur. “Ayu, Kun aku bonceng kamu nanti goesnya gentian,” kataku kepada Kuntoro untuk meyakinkan. Tanpa pikir panjang lagi kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang kurang lebih masih membutuhkan waktu 30 menit lagi dengan kecepatan satu menit per sekali goes. [bersambung….pada cerita selanjutnya]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: